Selasa, 19 April 2011

Sesosok Pak Tua

Pagi itu tak seperti biasanya. Matahari malu menampakkan wajahnya. Rintik-rintik hujan menemaniku dalam perjalanan ke sekolah. Saat itu pula aku merasakan bagaimana perjuangan seorang murid untuk menimba ilmu. Bangun di pagi buta, mandi meskipun tubuh menggigil kedinginan, berangkat ke sekolah walau raga masih ingin beristirahat.

Setibanya di sekolah tercinta, kuparkirkan motor yang aku tumpangi ke kandang motor kelas XI. Kusapa temanku yang ternyata sudah lama di sampingku.

“Cendra… ” sapaku padanya.

“Eh Devi..” balasnya.

“Kok ga pake jas hujan, Cen? tanyaku sambil melihat seragamnya yang agak basah terkena air hujan.

“Enggak. Nanggung bgt. Di rumahku ga hujan tadi, hujannya baru di Jl. Pemuda.”
“Oo.. hehe.” responku sekenanya.

Segera aku melepas jas hujan yang melekat pada seragamku, juga mengganti sandal jepit yang menghiasi kakiku. Setelah semua beres dengan seragam sekolah (murid yg baik ^_^), aku dan temanku beranjak dari parkiran. Di persimpangan kelas, aku berpamitan kepada temanku yang ternyata mendampingiku sejak tadi.

“Duluan ya, Cen.” pamitku singkat.

“Iya, Dev.”

Cendra adalah salah satu teman baikku di kelas X. Dia bukanlah muslim sepertiku. Namun aku dengan dirinya berteman baik sampai sekarang, meskipun telah berbeda kelas.

Seusai berpisah dengannya di persimpangan, kunaiki tangga yang mengantarkanku ke high class XI A6, ya karna kelasku sendiri yang berada di lantai 2. Di dalam kelas masih lumayan sepi, terlihat hanya beberapa butir orang. Setelah menaruh tas di bangku favoritku, aku langkahkan kakiku ke depan kelas.

Aku bersyukur memiliki kelas di atas. Meskipun jauh dari peradaban, di sini aku bisa melihat orang yang berlalu lalang. Tidak hanya aku, begitu juga dengan teman sebangkuku yang juga teman baikku, Intan, merasakan hal yang sama sepertiku.

Saat asyik-asyiknya ngobrol dengan salah seorang teman, pandanganku seketika mengarah kepada sesosok lelaki tua yang sedang menyapu halaman. Kuperhatikan ia dengan seksama.

Dengan memakai topi, ia rela hujan-hujan demi kebersihan sekolah. Tubuhnya tampak kurus kering dan kulitnya telah keriput. Semua yang ada padanya telah tampak tua kecuali bola matanya. Meskipun begitu, ia tetap membersihkan halaman, menyapu dedaunan yang gugur.

Ingatkah cerita salah seorang guru bahasa inggris kita? “Bapak tua yang kerjanya membuang sampah itu pernah sakit parah tapi ia tetap berjuang mencari nafkah. Tanpa ia pula, sekolah kita tak mungkin seindah yang kita lihat. Bayangkan jika ia tak ada di sekolah. Siapa yang akan membuang sampah-sampah kita? Berapa sampah yang terurai di sekolah kita?” Begitu inti ceritanya yang panjang kali lebar.

Teman, hormatilah ia, seperti engkau menghormati guru. Ia juga mendidik kita secara tidak langsung. Bukan matematika, fisika, kimia, atau biologi. Tanpa kita sadari, ia telah mengajari kita arti perjuangan yang sebenarnya.
Dalam keadaan bagaimanapun juga, kita harus sebisa mungkin semangat masuk sekolah. Sakit yang tidak parah, hujan, apapun sikonnya, janganlah mengeluh. Contohlah Pak Tua itu, kawan…

(Maaf Pak, nggak tau nama njenengan. Tp pengen skali knalan dan mendengar suara Bapak. Terimakasih atas segala jasa njenengan, Pak. You’re our hero )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar