Sabtu, 16 April 2011

Di Penghujung Waktu

Awan gelap menyelimuti langit sore itu. Udara dingin merasuk ke dalam tubuh. Angin berdesir menggerakkan jilbabku bak menari-nari. Di teras rumah, dtemani secangkir teh hangat, aku menunggui adikku yang sedari tadi belum pulang.

Ketika seteguk air teh masuk ke kerongkongan, tiba-tiba adikku datang. Terlihat air mata membanjiri wajah manisnya. Ia pun buru-buru masuk rumah tanpa memberi salam.

“Tumben Syifa pulang ga ngasih salam. Kenapa ya?.” gumamku dengan sedikit keanehan terlintas di otakku.

Tanpa pikir panjang, aku mengikuti jejak adikku yang ternyata masuk ke dalam kamarnya. Di luar kamar bernuansa pink itu, terdengar isak tangis.

“Dek, boleh kakak masuk?” tanyaku pada adik semata wayangku.

Tak ada balasan. Isak tangis justru semakin terdengar.

Akhirnya aku memutuskan untuk masuk walaupun tanpa izin dari si pemilik kamar.

“Kamu kenapa, Dek? Ada masalah apa? Ayo crita sama kakak, sapa tau setelah crita jadi lebih lega.” Aku mencoba membujuk adikku yang terus menangis memeluk guling kesayangannya.

“ Pa-pa-pa-car Syifa, Kak.” jawabnya tersendat-sendat oleh tangisnya.

“Pacar? Syifa punya pacar? Kenapa dia?” tanyaku kaget.

“Dia buaya, Kak. Dia ninggalin Syifa.” Adikku kembali menangis sejadi-jadinya.

“Sudah, Dek, jangan nangis lagi. Seharusnya adek bersyukur karna Allah masih sayang bgt sama adek. Nyatanya adek dikasih tau kalau pacar adek tu ga bnr. Coba kalau enggak, adek masih kluyuran ga jelas sama dia.”

“Beneran, Kak? Kakak ga bohong kan? Kakak ga marah?

“Insya’Allah beneran. Kakak ga marah kok.”

“Makasih ya, Kak. Kakak emang kakakku yang baik hati sedunia.” Ia berhenti menangis dan memelukku erat.

“Oiya, Kak, denger-denger istri Pak Khalid tetangga baru kita lumpuh, buta, tuli, dan bisu. Emang kabar itu bener, Kak? Soalnya kemarin ga sengaja aku denger dari tetangga-tetangga yang ngrumpi.” tanyanya sambil melepas pelukan.

“Mana Kak Zahra tau. Kalo adek penasaran, berkunjung saja ke rumahnya.”

“Iya deh, Kak, besok aku ke sana.”

Keesokan harinya, benar, Syifa berkunjung ke sana.

Pulang dari rumah itu, seketika perilaku Syifa berubah. Ia menjadi lebih rajin beribadah, tak lagi main bersama-teman-temannya, bahkan ia menjadi seorang pendiam.
Suatu hari saat ia hendak berangkat sekolah, ia berpamitan kepadaku seakan-akan ia akan pergi selama-lamanya.

“Kak Zahra, Syifa berangkat dulu ya. Maafin Syifa kalau selama ini udah bikin kakak kecewa. Do’ain Syifa ya, Kak, biar bisa bertemu Ummi dan Abi. Assalamu’alaikum.”
Sebelum aku menjawab, ia sudah pergi meninggalkanku. Aku hanya menjawab di dalam hati dengan penuh tanya.

Pertanyaanku pun kini telah terjawab. Syifa benar-benar meninggalkanku selamanya. Ia menjadi korban tabrak lari sewaktu berangkat ke sekolahnya.
Seusai pemakaman, aku membuka diarynya. Tepat sehari sebelum ia pergi, tertulis jelas :

Diary,
Istri Pak Khalid memang lumpuh karna ia tdk pergi kemanapun kecuali tempat kebaikan.
Ia memang buta karna ia tdk mau melihat apapun kecuali kebaikan.
Ia memang tuli karna ia tdk mau mendengar apapun kecuali kebaikan.
Ia memang bisu karna ia tdk mau berkata kecuali kebaikan.
Aku ingin seperti ia, Ya Allah. Aku ingin menjadi wanita shalehah..

Air mataku tak bisa tertahan saat membaca kata demi kata tulisannya.
Syifa kini sudah bersama Ummi dan Abi. Kak Zahra di dunia yang fana ini sendiri, Dek. Tak ada lagi yang menemani kakak, tak terdengar lagi canda dan tawamu, tak terlihat lagi senyum manismu.

Ya Rahman, ampunilah segala kesalahannya, masukkan ia ke dalam jannah-Mu bersama dengan orang-orang yang shaleh. Amiin Ya Robbal ‘alamin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar